Berita

Waspada! Tinggalkan Barang Bekas di Jalan Berlin Bisa Kena Denda Hingga Jutaan

— Di sudut-sudut jalan Berlin, pemandangan barang bekas seperti sofa tua, lemari es rusak, hingga kotak pakaian bayi sudah menjadi hal biasa. Barang-barang ini kerap ditinggalkan dengan label “zu verschenken” atau “diberikan gratis” untuk diambil oleh siapa saja yang membutuhkan.

Bagi warga Berlin, tradisi ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bentuk solidaritas dan upaya menjaga lingkungan. Musisi Eno Thiemann, yang kembali ke Berlin setelah 30 tahun, mengungkapkan kegembiraannya melihat budaya tersebut masih hidup. Ia bahkan menemukan buku favoritnya karya Haruki Murakami dari tumpukan barang gratis yang ditinggalkan di pinggir jalan.

Rencana Pemerintah Kota Berlin Perketat Aturan

Namun, tradisi “zu verschenken” kini menghadapi tantangan besar. Pemerintah kota Berlin berencana mengenakan denda kepada siapa pun yang meninggalkan barang bekas di jalanan. Departemen lingkungan menilai praktik ini sudah berlebihan dan mulai menyimpang dari tujuan awalnya.

Tahun lalu, pemerintah menghabiskan sekitar €10,3 juta atau setara Rp200 miliar untuk membersihkan sampah ilegal, mulai dari limbah elektronik hingga konstruksi yang dibuang sembarangan. “Menaruh barang di jalan tidak membebaskan pemilik dari tanggung jawab,” tegas juru bicara departemen lingkungan Berlin.

Denda Meningkat Signifikan

Berliner Stadtreinigungsbetriebe (BSR), perusahaan pengelola sampah kota, mencatat volume sampah ilegal yang dibersihkan meningkat 8% menjadi 54.000 meter kubik tahun lalu. Mayoritas pelaku adalah perusahaan pembuangan limbah konstruksi yang mencoba menghemat biaya.

Sanksi denda kini diperberat guna memberikan efek jera. Di distrik Friedrichshain-Kreuzberg, warga yang ketahuan meninggalkan pakaian atau peralatan makan bekas bisa didenda antara €150 hingga €300 (sekitar Rp3-6 juta), naik drastis dari sebelumnya hanya €25-75.

Untuk peralatan rumah tangga besar seperti lemari es atau mesin cuci rusak, denda dapat mencapai €1.000 sampai €15.000 (Rp19,5 juta hingga Rp290 juta), jauh lebih tinggi dibanding batas maksimum sebelumnya €5.000.

Tantangan Penegakan dan Alternatif Pengelolaan Barang Bekas

Meski aturan baru sudah disiapkan, efektivitas penegakannya diragukan. Penangkapan pelaku pembuangan barang bekas secara langsung sangat sulit kecuali ada saksi yang melaporkan atau pelaku meninggalkan identitas.

Eno Thiemann menilai, menangkap pelaku buang barang di jalan hampir mustahil tanpa bukti kuat. Sementara itu, organisasi seperti Circularity dan Berlin Zero Waste Verein mengingatkan bahwa aturan ketat ini bisa membuat warga lebih memilih membuang barang layak pakai ke tempat sampah, karena lebih mudah dibanding harus mengantarkan ke pusat daur ulang.

BSR menyarankan warga menggunakan berbagai opsi resmi untuk membuang barang besar atau elektronik, seperti hari tukar menukar barang di tiap distrik, pusat daur ulang, atau toko barang bekas “NochMall”. Mereka juga menyediakan layanan penjemputan dengan biaya tertentu.

Target Daur Ulang dan Tantangan Berlin

Pemerintah Berlin menargetkan tingkat daur ulang limbah konstruksi mencapai 64% dan mengurangi volume sampah sisa sebesar 20% pada 2030. Namun, laporan OECD 2024 menunjukkan ketergantungan Berlin pada pembakaran sampah masih tinggi dan tingkat daur ulangnya masih di bawah rata-rata nasional.

Beberapa kota besar di Eropa seperti Madrid dan Kopenhagen sudah mengurangi pembakaran sampah untuk menekan emisi karbon. Sementara itu, Berlin masih mencari keseimbangan antara mempertahankan budaya “zu verschenken” sekaligus mengatasi persoalan sampah yang menimbulkan biaya pembersihan mencapai jutaan euro tiap tahun.

Marianne Kuhlmann dari Circularity menyarankan agar pemerintah menyediakan tempat khusus di setiap jalan atau lingkungan untuk berbagi barang gratis. Cara ini dianggap dapat menjaga tradisi sekaligus mengurangi masalah sampah ilegal yang selama ini menjadi beban kota.

Jangan ketinggalan informasi penting! Follow kami sekarang di Google News.

Penulis: Sony Watson