Media Netizen — Ketegangan mewarnai perjalanan armada Global Sumud Flotilla yang mengangkut aktivis dan politisi menuju Gaza. Setelah ditahan oleh Israel, warga negara Brasil dan Meksiko yang tergabung dalam armada bantuan tersebut kini telah dipulangkan ke negara masing-masing.
Global Sumud Flotilla berlayar bulan lalu dengan tujuan memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun, armada ini menghadapi blokade ketat dan intervensi militer dari Israel yang menyebabkan ratusan orang ditahan.
Brasil dan Meksiko Pastikan Warganya Bebas dan Kembali
Menurut laporan AFP pada Rabu (8/10/2025), sebanyak 13 warga Brasil, termasuk anggota parlemen Luizianne Lins dari Partai Buruh, telah dibawa ke perbatasan Yordania dan kemudian dibebaskan. Hal ini dikonfirmasi oleh Kementerian Luar Negeri Brasil dalam pernyataan resminya.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Meksiko menyatakan enam warga negaranya yang ikut armada tersebut juga telah dipulangkan. Mereka disambut oleh Duta Besar Meksiko di Yordania sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Meksiko.
Tuduhan Pelanggaran dan Respons Israel
Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva mengecam tindakan Israel yang mencegat armada di perairan internasional sebagai pelanggaran hukum internasional. Ia, bersama mitranya dari Meksiko, Claudia Sheinbaum, menuntut pengembalian aman warganya.
Luizianne Lins menulis di Instagram bahwa setelah menjalani penahanan selama enam hari, warga Brasil akhirnya dibebaskan dari tahanan yang dia sebut ilegal.
Sementara itu, seorang anggota dewan Italia yang juga ikut dalam armada tersebut mengungkapkan perlakuan buruk selama penahanan, menyebut aktivis diperlakukan “seperti binatang”. Israel membantah semua tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa hak-hak hukum para tahanan dihormati sepenuhnya.
Situasi di Gaza dan Armada Global Sumud Flotilla
Armada Global Sumud Flotilla yang terdiri dari sekitar 45 perahu kecil, membawa lebih dari 470 orang. Mereka berlayar menuju Gaza untuk menunjukkan solidaritas dan memberikan bantuan kemanusiaan di tengah blokade yang semakin ketat dan serangan militer yang terus berlangsung, yang menurut PBB menyebabkan kelaparan di wilayah tersebut.






