Berita

Sertifikat HACCP Wajib untuk Dapur MBG, DPR Tekankan Pentingnya Pengawasan Ketat

— Pemerintah kini mewajibkan setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk memiliki sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) serta Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS). Langkah ini bertujuan meningkatkan standar keamanan dan kualitas pelayanan makanan bergizi yang disediakan untuk masyarakat.

Namun, anggota Komisi IX DPR, Nurhadi, mengingatkan bahwa keberadaan sertifikat tersebut tidak serta merta menjamin peningkatan kualitas layanan. Ia menilai, sistem pengawasan yang konsisten dan pembinaan berkelanjutan tetap menjadi kunci utama dalam menjaga mutu operasional dapur MBG.

Pengawasan dan Pembinaan Jadi Kunci Mutu Layanan

Nurhadi menyampaikan, “Sertifikat tidak otomatis menjamin peningkatan kualitas layanan apabila tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang konsisten, pembinaan yang berkelanjutan, serta peningkatan kompetensi para tenaga gizi di lapangan.” Pernyataan ini mengacu pada pengalaman selama ini yang menunjukkan bahwa permasalahan utama justru berasal dari lemahnya supervisi dan minimnya budaya mutu di tingkat operasional.

Penambahan persyaratan sertifikasi ini menurutnya juga berpotensi mempersempit jumlah SPPG yang memenuhi kriteria. Konsekuensinya, banyak penyelenggara dapat tereliminasi karena terbebani persyaratan administratif dan biaya sertifikasi yang tidak ringan.

“Akses layanan MBG bisa terganggu, dan yang paling dirugikan adalah pasien serta masyarakat luas. Jangan sampai niat baik meningkatkan standar justru berbalik menjadi hambatan dalam keberlangsungan program gizi nasional,” ujar Nurhadi.

Perlu Mekanisme Transisi dan Pendampingan Teknis

Nurhadi menegaskan, kebijakan sertifikasi harus dijalankan dengan prinsip keberimbangan. Peningkatan standar harus berjalan tanpa mematikan penyelenggara yang ada. “Yang dibutuhkan bukan sekadar sertifikasi, tetapi juga ekosistem pembinaan yang kuat,” tambahnya.

Menurut Nurhadi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Gizi Nasional (BGN) wajib menyiapkan mekanisme transisi yang realistis. Pendampingan teknis juga diperlukan agar penyedia layanan mampu memenuhi standar yang ditetapkan. Tanpa dukungan tersebut, kebijakan sertifikasi akan terasa sebagai beban administratif semata dan kurang efektif dalam meningkatkan kualitas.

“Sertifikasi harus ditempatkan sebagai alat untuk membangun budaya mutu, bukan sekadar formalitas. Jika pengawasan, pembinaan, dan peningkatan kapasitas berjalan konsisten, maka sertifikasi ini akan bermakna,” jelas Nurhadi. Ia juga mengingatkan risiko berkurangnya jumlah SPPG aktif dan terbatasnya akses pasien jika pengawasan tidak dilakukan dengan serius.

Kemenkes dan BGN Terapkan Standar Sertifikasi Baru

Sebelumnya, Kemenkes RI bersama BGN sepakat setiap dapur MBG harus memiliki sertifikat HACCP yang mengatur standar gizi dan manajemen risiko. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, “Kita juga membereskan masalah sertifikasinya. Jadi standar minimum SPPG-nya. Kita juga sudah menyepakati BGN akan mewajibkan sertifikasi layak higiene dan sanitasi dari Kemenkes. Kemudian ada proses HACCP untuk prosesnya, terutama berkaitan dengan standar gizi dan manajemen risikonya.”

Selain itu, setiap SPPG nantinya akan memiliki sertifikasi halal. Proses ini juga akan mendapat pengakuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Kementerian Kesehatan dan BPOM dan BGN nanti akan bekerja sama untuk melakukan sertifikasi. Ini proses standarisasi awal minimalnya seperti apa. Kita juga sudah membahas bagaimana ada akselerasi dari sisi masing-masing penerbit sertifikasi agar prosesnya bisa cepat, kualitasnya baik, dan tidak ada biaya izin yang mahal-mahal,” ujar Budi.

Jangan ketinggalan informasi penting! Follow kami sekarang di Google News.

Penulis: Sony Watson