Media Netizen — Pidato Presiden Prabowo Subianto di Majelis Umum PBB pada awal Oktober 2025 menarik perhatian dunia internasional karena mengangkat isu kemerdekaan Palestina. Namun, di balik sorotan global itu, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam merumuskan visi maritim yang kokoh sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Pidato tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Maritim Nasional yang telah digagas sejak masa Presiden Soekarno pada 1964. Sayangnya, momentum ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk menegaskan kembali arah kebijakan maritim Indonesia, terutama di tengah dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
Sejarah dan Tantangan Visi Maritim Indonesia
Kebijakan maritim sempat menjadi perhatian utama saat Presiden Joko Widodo memperkenalkan Visi Poros Maritim Dunia di awal masa kepemimpinannya. Pembentukan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Peraturan Presiden No.16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Nasional merupakan bukti keseriusan pemerintah kala itu. Program tol laut pun digadang-gadang sebagai solusi untuk memperkuat konektivitas antarpulau.
Meski demikian, sepuluh tahun berlalu, pembangunan infrastruktur darat seperti jalan, jembatan, dan jalan tol tetap menjadi prioritas utama. Dalam pidato kenegaraan terakhir Jokowi pada 16 Agustus 2024, fokus pembangunan lebih condong ke sektor tersebut, sementara sektor maritim belum mendapat porsi yang memadai.
Arah Kebijakan dan Alokasi Anggaran yang Tidak Pro Maritim
Visi Asta Cita yang menjadi acuan pembangunan lima tahun ke depan menjadikan ekonomi biru sebagai kata kunci utama. Namun, implementasinya lebih terfokus pada ketahanan pangan, energi, keamanan, dan program sosial seperti Makan Bergizi Gratis. Data APBN menunjukkan Kementerian Kelautan berada di peringkat ke-17 dalam hal alokasi anggaran, sementara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman tidak lagi ada di era pemerintahan Prabowo.
Padahal, sejarah panjang Indonesia sebagai bangsa maritim tidak bisa dipisahkan dari keberadaan kota pelabuhan seperti Samudera Pasai, Maluku, dan Batavia yang pernah menjadi pusat perdagangan dunia. Ironisnya, saat ini pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura.
Data Kapasitas Pelabuhan dan Persaingan Regional
| Pelabuhan | Volume Peti Kemas 2024 (juta TEUs) |
|---|---|
| Pelabuhan Indonesia (termasuk Jakarta) | 17,7 |
| Pelabuhan Klang, Tanjung Pelepas, Penang (Malaysia) | 28 |
| PSA dan Tuas (Singapura) | 50+ |
Data OceanWeek 2024 memperlihatkan bahwa total volume peti kemas di pelabuhan Indonesia jauh tertinggal dibanding Malaysia dan Singapura. Jika pemerintah serius, peran Indonesia dalam perdagangan internasional di Asia, Eropa, dan Amerika dapat meningkat signifikan dengan memanfaatkan potensi ini.
Ancaman Kedaulatan dan Sengketa Wilayah Laut
Selain tantangan pembangunan, kedaulatan negara juga menghadapi ancaman nyata, terutama di Laut China Selatan dan wilayah Natuna Utara yang strategis. Kawasan ini kaya sumber daya dan terletak di persilangan sepuluh negara, sehingga rawan konflik.
Persoalan lain muncul di Blok Ambalat, perbatasan antara Kalimantan Utara dan Sabah, Malaysia, yang kaya minyak dan gas. Meskipun sudah ada pertemuan antara Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim untuk mengedepankan kerja sama berdasarkan hukum internasional, ketegangan masih terasa.
Menurut Dinna Prapto Raharja (Kompas, 10 Agustus 2025), sikap Malaysia pasca pertemuan menunjukkan ada isu yang belum selesai dan mungkin tidak langsung terkait Ambalat, tapi tetap menimbulkan tekanan bagi Indonesia.
Prioritas Program dan Tantangan Ke depan
Pidato kenegaraan Presiden Prabowo pada 16 Agustus 2025 memaparkan delapan program prioritas APBN 2026. Sayangnya, sektor maritim kembali tak menjadi fokus utama dalam kebijakan pemerintah. Padahal, Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa laut menghadapi berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan dampak krisis iklim yang mendesak.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengalihkan perhatian dan anggaran lebih besar untuk mengembangkan ekonomi biru sebagaimana tercantum dalam visi Asta Cita. Ini menjadi kunci agar Indonesia kembali berjaya sebagai poros maritim dunia.






