Berita

Menguak Rasionalitas Pemilih Indonesia di Era Digital dan Politik Uang

— Dalam dinamika politik Indonesia, perilaku pemilih terus mengalami perubahan yang signifikan. Dari masa ke masa, pilihan politik tidak hanya soal ideologi, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi yang kompleks. Fenomena ini semakin menarik untuk dikaji, terutama ketika media digital dan politik uang menjadi bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi.

Sejak era reformasi, pemilih Indonesia menghadapi tantangan dalam membedakan partai berdasarkan ideologi yang jelas. Hampir seluruh partai politik mengusung slogan, program, dan gaya kampanye yang seragam, sehingga membingungkan pemilih dalam menentukan pilihan. Kondisi ini memunculkan fenomena massa mengambang yang menjadi sasaran pragmatis partai politik melalui berbagai iming-iming materi.

Tipologi Pemilih dan Karakteristik Sosial

Menurut sosiolog Clifford Geertz, masyarakat Jawa memiliki tiga tipologi politik, yaitu abangan, priyayi, dan santri. Kelompok abangan cenderung memilih partai nasionalis-sekuler, santri lebih condong ke partai berbasis agama, sedangkan priyayi memilih partai dengan paham kebangsaan dan teknokratis. Namun, sejak reformasi, perbedaan ini menjadi kabur karena hampir semua partai mengadopsi model catch-all party.

Massa mengambang ini seringkali dipengaruhi oleh faktor pragmatis, seperti imbalan uang atau fasilitas transportasi saat pemilu. Mereka melakukan tindakan sosial semata-mata berdasarkan untung-rugi tanpa mempertimbangkan nilai atau ideologi, sehingga mudah dimobilisasi oleh kepentingan jangka pendek partai politik.

Perubahan Perilaku Pemilih di Era Digital

Penelitian terbaru mengungkapkan adanya pergeseran pola perilaku pemilih, terutama di kalangan pemilih muda perkotaan. Mereka lebih selektif dan rasional dalam menentukan pilihan, dengan mempertimbangkan kompetensi kandidat serta isu-isu spesifik yang berkembang di media sosial. Fenomena ini disebut sebagai orientasi rasional-emosional, di mana faktor emosional melalui gaya komunikasi digital turut memengaruhi keputusan pemilih.

Studi Tapsell (2021) menunjukkan bahwa media digital memperluas ruang politik dan memungkinkan kampanye yang lebih personal dan interaktif. Temuan serupa juga diperkuat oleh Setiawan (2019) dan Faiz (2024), yang menegaskan peran media sosial dalam membentuk persepsi politik, khususnya bagi pemilih muda dan pemula.

Perbedaan Urban dan Rural dalam Loyalitas Politik

Menurut Santoso (2020), loyalitas terhadap partai tradisional masih kuat di wilayah pedesaan, meskipun pemilih muda di perkotaan menunjukkan kecenderungan untuk lebih fleksibel dan terbuka terhadap pilihan politik baru. Pendidikan tinggi dan paparan media digital menjadi faktor utama yang memengaruhi fluiditas pilihan tersebut.

Selain itu, Muhtadi (2013) menegaskan bahwa politik uang masih menjadi faktor signifikan dalam perilaku pemilih, terutama bagi mereka yang tidak terikat secara partai. George et al. (2017) menambahkan bahwa tingkat pendidikan dan pendapatan memengaruhi sikap toleransi terhadap praktik politik uang. Haryanto (2014) dan Wasisto (2022) juga menyoroti peran party-ID serta rasionalitas pemilih perkotaan yang lebih mengutamakan visi dan program kandidat.

Tipologi Pemilih Kontemporer di Indonesia

Dinamika perilaku pemilih pasca reformasi dipengaruhi oleh dua faktor utama: kampanye digital dan politik uang. Dampak keduanya berbeda pada kelompok pemilih berdasarkan lokasi geografis, usia, pendidikan, dan pendapatan.

Pemilih muda berpendidikan tinggi cenderung menolak politik uang dan lebih mengutamakan pilihan berdasarkan nurani. Mereka disebut sebagai kelompok pemilih transformatif yang kritis dan selektif. Sebaliknya, pemilih tradisional yang dipengaruhi budaya, agama, dan warisan politik menunjukkan loyalitas kuat yang sulit digoyahkan oleh kampanye digital maupun politik uang.

Fenomena ini berbanding terbalik dengan massa mengambang yang mudah dimobilisasi untuk kepentingan jangka pendek. Mereka lebih didorong oleh keuntungan materi dan cenderung pragmatis dalam memilih, tanpa mempertimbangkan nilai atau ideologi politik.

Ahan Syahrul Arifin, Tenaga Ahli di DPR RI dan mahasiswa S-3 Universitas Brawijaya Malang, menyampaikan analisis ini berdasarkan kajian mendalam terhadap perilaku pemilih di Indonesia.

Jangan ketinggalan informasi penting! Follow kami sekarang di Google News.

Penulis: Sony Watson