Media Netizen — Fenomena perjalanan solo yang dilakukan oleh perempuan Indonesia kini menjadi cerminan dari dinamika sosial yang lebih kompleks. Perjalanan ini tidak hanya soal berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melainkan juga melibatkan negosiasi ruang dalam konteks domestik, publik, dan lintas negara.
Penelitian terhadap 25 perempuan Indonesia yang melakukan perjalanan sendiri ke berbagai negara mengungkap bahwa meski bersifat personal, perjalanan tetap membutuhkan persetujuan dari keluarga. Hal ini menandakan bahwa ruang domestik masih menjadi titik awal yang menentukan kebebasan bergerak perempuan.
Pengaruh Sosial-Budaya dan Identitas Perempuan dalam Mobilitas
Mobilitas lintas negara memberi ruang bagi perempuan untuk menghadapi isu global sekaligus mempertahankan identitas kultural mereka. Namun, gerakan feminisme global menuntut perempuan untuk selalu menegosiasikan posisi mereka baik secara lokal maupun internasional.
Perjalanan solo bukan sekadar soal menjelajah, tetapi juga tentang bagaimana perempuan menempatkan diri di antara tradisi, identitas budaya, dan modernitas global yang terus berubah.
Tantangan di Ruang Publik
Dalam ruang publik, perempuan kerap menghadapi berbagai pembatasan berupa stereotip dan stigma. Istilah seperti “perempuan Asia” atau “muslim traveler” sering disertai dengan pelecehan verbal, tatapan menghakimi, hingga pertanyaan yang mempertanyakan legitimasi mereka bepergian sendiri.
Situasi ini memperlihatkan ruang publik sebagai arena perjuangan, di mana setiap langkah perempuan membawa beban tambahan untuk membuktikan keberadaan dan legitimasi mereka.
Strategi Membangun Ruang Aman
Meski menghadapi banyak tantangan, perempuan aktif menciptakan ruang aman dengan berbagai cara. Mereka membangun jejaring dengan pelancong lain, memakai komunikasi yang asertif, serta mengatur bahasa tubuh agar terlihat percaya diri.
Upaya ini menunjukkan bahwa ruang aman bukanlah sesuatu yang otomatis tersedia, melainkan hasil kreativitas dan pengalaman yang terus diasah.
Perempuan juga memanfaatkan sumber daya sosial, teknologi, dan simbol-simbol tubuh untuk menandai bahwa ruang publik juga merupakan milik mereka. Dengan demikian, perjalanan solo menjadi praktik politik ruang sehari-hari yang bermakna dan aman.
Paradoks Kebebasan dan Pembatasan
Bagi banyak perempuan, perjalanan solo menghadirkan kebebasan, kemandirian, dan kesempatan untuk tumbuh secara personal. Banyak yang kembali dengan rasa percaya diri, kemampuan beradaptasi yang meningkat, serta wawasan global yang lebih luas.
Namun, perjalanan ini juga mengandung risiko, prasangka, dan tuntutan adaptasi yang kompleks. Paradoks ini menggambarkan mobilitas perempuan sebagai negosiasi sosial-budaya yang berlangsung terus-menerus di berbagai ruang.
Membangun Mobilitas yang Inklusif
Karena mobilitas perempuan bersifat gendered, kebijakan di bidang transportasi dan pariwisata harus merespons realitas tersebut. Penyediaan infrastruktur yang aman, sistem pelaporan pelecehan yang efektif, serta dukungan bagi komunitas pelancong perempuan menjadi langkah penting.
Selain itu, kampanye publik dan pendidikan sosial perlu ditingkatkan agar kesadaran tentang pentingnya ruang publik yang aman dan inklusif meluas. Upaya ini tidak hanya membebankan adaptasi pada perempuan, tapi juga mendorong masyarakat untuk menciptakan ruang yang adil bersama.
Mobilitas Sebagai Negosiasi Sosial-Budaya
Perjalanan solo perempuan Indonesia bukan sekadar aktivitas rekreasi, melainkan praktik sosial yang sarat dengan negosiasi. Mobilitas ini memperlihatkan tarik-menarik antara norma domestik, stigma publik, dan tuntutan global.
Dengan memahami pengalaman ini, kebijakan dapat dibuat lebih holistik, yang mengedepankan keadilan gender dan keamanan emosional, sekaligus efisiensi. Legitimasi mobilitas perempuan membuka jalan bagi masyarakat yang lebih adil, di mana perempuan dapat bergerak bebas tanpa perlu terus-menerus menegosiasikan ruang yang seharusnya menjadi hak mereka.
Inayah Hidayati
Periset Kebijakan Kependudukan, Direktorat Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan, dan Kebudayaan, BRIN






