Media Netizen — Jakarta – Mantan Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), Ekiawan Heri Primaryanto, resmi dijatuhi hukuman penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta. Vonis ini diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Senin (6/10/2025) atas kasus korupsi investasi fiktif yang melibatkan PT Taspen (Persero).
Hakim Ketua Purwanto S Abdullah membacakan amar putusan yang menyatakan Ekiawan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Selain hukuman penjara dan denda, hakim juga memerintahkan Ekiawan membayar uang pengganti senilai USD 253.660. Jika uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa dapat disita dan dilelang.
Detail Hukuman dan Ketentuan Tambahan
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta. Apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata hakim Purwanto saat membacakan putusan.
Hakim menambahkan, jika Ekiawan tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun. “Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun,” ujarnya.
Kerugian Negara dan Modus Operandi Kasus
Vonis berat ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa perbuatan Ekiawan mengakibatkan kerugian dana program Tabungan Hari Tua (THT) sebesar Rp 1 triliun. Dana tersebut merupakan iuran dari 4,8 juta aparatur sipil negara (ASN) yang dipotong langsung dari gaji mereka sebesar 3,25 persen setiap bulan sebagai jaminan hari tua.
Hakim menjelaskan bahwa kasus ini melibatkan skema investasi berlapis yang rumit melalui PT Sinarmas Sekuritas, PT Pacific Sekuritas Indonesia, dan PT Valbury Sekuritas Indonesia. Selain itu, lima reksa dana digunakan dalam pengelolaan PT IIM untuk menjalankan modus operandi tersebut.
“Perbuatan terdakwa telah merugikan dana THT yang merupakan hak para ASN dengan gaji terbatas namun berharap mendapatkan jaminan finansial yang layak di masa tua,” kata hakim. “Modus yang dilakukan terdakwa sangat kompleks dan terencana dengan tingkat kesengajaan yang tinggi,” tambahnya.
Pelanggaran Perundang-undangan dan Tidak Ada Pengembalian Kerugian
Hakim menyatakan bahwa Ekiawan melanggar sembilan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) mengenai pedoman perilaku manajemen investasi dan reksa dana. Dalam persidangan, Ekiawan juga tidak menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan kerugian negara secara sukarela.
“Tidak ada upaya pengembalian kerugian keuangan negara secara sukarela dari terdakwa,” tegas hakim.
Hal yang Meringankan dan Tuntutan Jaksa
Dalam pertimbangan hukuman, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan seperti Ekiawan belum pernah dihukum sebelumnya, memiliki tanggungan keluarga berupa istri dan anak, serta sikap sopan selama persidangan.
Ekiawan dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sebelumnya, jaksa menuntut hukuman 9 tahun 4 bulan penjara dan denda Rp 500 juta dengan ketentuan subsidi kurungan 6 bulan, serta uang pengganti sebesar USD 253.660 dengan ketentuan subsidi kurungan 2 tahun.
“Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2025).
Jaksa juga meminta agar terdakwa tetap ditahan selama proses persidangan berlangsung.






