Berita

Legislator Desak Pemerintah Segera Terbitkan PP Turunan UU Minerba 2025

— Sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) pada 19 Maret lalu, pemerintah belum juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana. Keterlambatan ini menuai kritik dari sejumlah anggota DPR, yang menilai kondisi tersebut berpotensi menghambat implementasi UU Minerba secara menyeluruh.

Ratna Juwita Sari, anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi PKB, menegaskan bahwa batas waktu penerbitan PP sudah terlewati. “UU Minerba telah diundangkan sejak 19 Maret 2025. Artinya, sampai hari ini pemerintah sudah melewati batas waktu yang ditentukan undang-undang. Ini bentuk kelalaian yang tidak boleh dibiarkan,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Minggu (5/10/2025).

Kemendesakan PP Turunan untuk Tata Kelola Minerba

Ratna menilai sektor minerba memiliki posisi strategis bagi Indonesia, bukan hanya sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai instrumen penting dalam mewujudkan kemandirian bangsa. “Indonesia kaya akan sumber daya minerba. UU ini lahir untuk memastikan kekayaan alam tersebut benar-benar dikelola demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan asing. Tanpa adanya aturan pelaksana, cita-cita kemandirian dan kedaulatan bangsa akan sulit terwujud,” tambahnya.

Ia mendesak pemerintah segera menuntaskan seluruh regulasi turunan yang diperlukan agar tata kelola pertambangan bisa berjalan sesuai amanat undang-undang. “Pemerintah tidak boleh mengabaikan urgensi ini. Minerba bukan sekadar komoditas ekonomi, tapi fondasi kedaulatan bangsa. Dengan pengelolaan yang tepat, minerba bisa menjadi motor kemandirian nasional dan benteng Indonesia dari ketergantungan pada pihak asing,” tegasnya.

Ketidakpastian Hukum dan Dampaknya bagi Pelaku Usaha

Menurut Ratna, keterlambatan PP ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha di sektor pertambangan. Hal ini juga berpotensi menahan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan.

“Tanpa kejelasan teknis mengenai mekanisme Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), pembagian kewenangan pusat-daerah, serta prioritas pemberian izin bagi koperasi, UMKM, badan usaha milik daerah, dan ormas keagamaan, pelaksanaan kebijakan minerba bisa tersendat,” ujarnya.

Ratna menambahkan bahwa UU Minerba 2025 telah memberikan arah yang jelas untuk mewujudkan tata kelola pertambangan yang berkeadilan, transparan, dan berpihak pada kepentingan nasional. Namun, tanpa PP pelaksana, seluruh amanat dalam Pasal 17 terkait WIUP sulit dijalankan secara efektif.

“Investor menunda ekspansi, pemerintah daerah kebingungan mengambil langkah, dan masyarakat lokal kembali menjadi korban ketidakpastian kebijakan. Ini situasi yang tidak boleh dibiarkan terlalu lama,” imbuhnya.

PDIP dan PAN Ikut Soroti Lambatnya PP Turunan

Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI juga menyoroti lambatnya penerbitan PP sebagai aturan turunan UU Minerba. Anggota Komisi XII sekaligus Kapoksi Fraksi PDIP, Yulian Gunhar, mengingatkan bahwa pemerintah wajib menerbitkan PP paling lambat enam bulan setelah UU berlaku, sesuai Pasal 174 ayat (1) UU No 2/2025.

“Ini menjadi pertanyaan serius. Apakah pemerintah betul-betul konsisten dan serius membenahi tata kelola minerba atau justru membiarkan ketidakpastian hukum berlarut-larut?” katanya, Sabtu (4/10/2025).

Sementara itu, legislator dari PAN juga meminta pemerintah segera mengeluarkan PP turunan untuk memastikan ketentuan baru dalam UU Minerba dapat berjalan efektif. Sebagai informasi, UU Minerba 2025 merupakan perubahan keempat dari UU Minerba 2009 dengan salah satu poin penting memberikan prioritas pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan, BUMD, UMKM, dan koperasi.

Tanpa aturan pelaksana tersebut, implementasi UU berisiko terhambat dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan berbagai pihak.

Jangan ketinggalan informasi penting! Follow kami sekarang di Google News.

Penulis: Sony Watson