Media Netizen — Presiden Prancis Emmanuel Macron kini berada di persimpangan jalan terberat dalam karier politiknya. Krisis politik yang terus memburuk sejak beberapa bulan terakhir memaksa ia menghadapi desakan mundur, termasuk dari kalangan yang sebelumnya menjadi sekutunya.
Situasi ini tidak hanya mengguncang pemerintahan Macron, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian bagi masa depan politik Prancis. Setelah pengunduran diri mendadak Perdana Menteri ketujuh di era Macron, Sebastien Lecornu, negara ini semakin terjebak dalam kebuntuan yang sulit dipecahkan.
Pengunduran Diri Perdana Menteri dan Dampaknya
Pada Senin (6/10), Sebastien Lecornu mengajukan pengunduran diri secara tiba-tiba. Presiden Macron menerima permintaan tersebut dan memberikan tenggat hingga Rabu (8/10) malam bagi Lecornu untuk mencari solusi kompromi dalam pemerintahan koalisi yang tengah bergolak.
Namun, peluang tercapainya kesepakatan masih sangat tipis. Jika gagal, salah satu opsi yang dihadapi Macron adalah membubarkan parlemen dan menggelar pemilihan legislatif mendadak demi membentuk susunan parlemen yang lebih efektif dan stabil.
Upaya Konsultasi dan Tekanan Politik
Macron melakukan pertemuan terpisah dengan para ketua majelis tinggi dan rendah parlemen pada Selasa (7/10) malam. Meskipun tujuan pertemuan ini tidak diungkap secara rinci, langkah ini menjadi bagian dari proses konsultasi wajib sebelum rencana pemilu baru dapat dijalankan.
Sayangnya, tekanan politik semakin meningkat, tak hanya dari oposisi, tetapi juga dari dalam kubu Macron sendiri. Juru bicara kepresidenan, Aurore Berge, menegaskan bahwa Macron akan tetap menjalankan tugas hingga akhir masa jabatannya pada 2027.
Mantan PM Desak Pemilu Presiden Dipercepat
Edouard Philippe, mantan Perdana Menteri yang menjabat di bawah Macron dari 2017 hingga 2020, menyuarakan kritik tajam. Ia meminta agar pemilihan presiden dipercepat setelah pengesahan anggaran, menyebut situasi saat ini sebagai “permainan politik yang menyedihkan”.
Komentar Philippe yang dipublikasikan oleh harian Le Parisien ini dianggap sebagai “bom politik” yang menambah tekanan terhadap Presiden Macron. Pilpres berikutnya dijadwalkan pada 2027, di mana Macron tidak dapat mencalonkan diri lagi, dan Philippe sudah muncul sebagai kandidat potensial.
Opsi dan Tantangan ke Depan
Selain kemungkinan pemilu legislatif mendadak, Macron juga dihadapkan pada pilihan menunjuk Perdana Menteri baru yang akan menjadi yang kedelapan selama masa jabatannya. Krisis ini bermula dari upaya Macron memperkuat kekuasaan lewat pemilu legislatif mendadak pada musim panas 2024, yang justru berbalik menjadi bumerang.
Hasilnya, parlemen kini terpecah menjadi tiga blok yang saling bersaing tanpa ada mayoritas jelas, memperparah kebuntuan politik yang dialami Prancis saat ini.