Media Netizen — Dalam menghadapi krisis iklim global, budaya dan pengetahuan lokal memegang peranan krusial yang seringkali terlupakan dalam arus utama mitigasi iklim. Di balik kerusakan mangrove yang massif, tersimpan kisah tentang bagaimana sistem pengetahuan lokal dan tradisi masyarakat pesisir selama ini menjadi benteng alami menjaga keseimbangan ekosistem dan iklim.
Namun ironisnya, budaya dan warisan pengetahuan yang telah diwariskan turun-temurun mulai terpinggirkan oleh dominasi pengetahuan modern yang bersifat hegemonik dan teknokratis. Fenomena ini menimbulkan krisis mangrove yang berdampak langsung pada kerusakan iklim dan hilangnya kesejahteraan masyarakat pesisir.
Peran Mangrove sebagai Penjaga Pesisir dan Iklim
Mangrove bukan sekadar pohon pantai biasa, melainkan penjaga yang menghalau gelombang laut, sumber kehidupan, dan jembatan spiritual antara darat dan laut. Pada masa lampau, garis pantai Indonesia dilindungi oleh hamparan mangrove yang luas, berfungsi sebagai perisai hijau yang kokoh dan penuh makna. Akar-akar bakau laksana tangan seorang ibu yang memeluk bumi dan laut, menahan gelombang serta memberikan tempat teduh bagi makhluk hidup.
Namun, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022) menunjukkan bahwa luas mangrove Indonesia saat ini hanya tersisa sekitar 3,36 juta hektar, turun drastis dari 9,36 juta hektar pada tahun 1980. Dalam empat dekade terakhir, lebih dari 6 juta hektar mangrove hilang akibat tekanan pembangunan dan model pengetahuan pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Hegemoni Pengetahuan Barat dan Dampaknya pada Mangrove
Menurut Global Mangrove Alliance (2025), dunia kehilangan lebih dari 60% hutan mangrove dalam dua dekade terakhir, dengan laju penyusutan mencapai satu persen per tahun — tiga hingga lima kali lebih cepat dibanding hutan non-mangrove. Penyusutan ini mengancam keberlangsungan ekosistem dan kehidupan manusia secara luas.
Kerusakan ini terjadi karena dominasi pengetahuan modern yang mengabaikan pengalaman serta tradisi masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya pesisir. Kajian Walhi (2023) mengungkap adanya praktik ocean grabbing atau perampasan ruang laut yang dilakukan melalui proyek reklamasi dan tambang pasir, yang merusak ekosistem mangrove dan kesejahteraan sosial ekonomi penduduk pesisir.
Urgensi Dekolonialisasi Pengetahuan Ekologis
Pengetahuan lokal yang selama ini dianggap primitif dan tidak ilmiah justru terbukti efektif dalam menjaga mangrove dan ekosistem pesisir. Menurut Escobar (2008), dekolonialisasi pengetahuan menjadi langkah penting untuk mengakui dan mengangkat nilai-nilai serta praktik masyarakat lokal sebagai strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Contohnya, nelayan di Pekalongan seperti Karyadi yang memahami tanda-tanda alam tanpa pendidikan formal, atau kepercayaan masyarakat pesisir terhadap sosok penjaga laut seperti Dewi Lanjar dan Mbah Piyak yang menjaga keseimbangan ekosistem mangrove melalui mitos dan ritual tradisional.
Mitos dan Tradisi sebagai Pilar Pelestarian Mangrove
Masyarakat pesisir Indonesia memegang teguh mitos dan tradisi yang melarang perusakan mangrove karena diyakini membawa bencana. Tradisi seperti sedekah laut, ruwat laut, dan nyadran menjadi ekspresi ekologis yang mengandung pesan konservasi mendalam.
Mitos-mitos tersebut berfungsi sebagai mekanisme kognitif yang menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam, sekaligus memperkuat keteraturan sosial. Hilangnya pemahaman dan penghargaan terhadap mitos ini dapat berujung pada kerusakan ekosistem dan konflik sosial.
Menjaga Mangrove untuk Menjaga Kehidupan dan Iklim
Mengatasi krisis mangrove membutuhkan pendekatan yang holistik, mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern dengan kearifan lokal, mitos, dan tradisi. Pemerintah Indonesia yang kini aktif dalam COP28 harus menempatkan budaya dan pengetahuan lokal sebagai pusat kebijakan iklim untuk memastikan keberlanjutan ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakatnya.
Upaya ini bukan hanya soal pembangunan teknis semata, melainkan juga soal menghormati dan melestarikan warisan budaya yang selama ini menjadi penjaga alam dan penopang mitigasi perubahan iklim.