Berita

Koalisi Sipil Kritik Peran TNI sebagai Penyidik Siber di RUU KKS, Ini Jawaban TNI

— Perdebatan tentang peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) kembali memanas. Koalisi Masyarakat Sipil melontarkan kritik tajam terkait keterlibatan prajurit TNI sebagai penyidik pidana siber, yang dianggap berpotensi melanggar perlindungan hak individu dan mengaburkan batas penegakan hukum sipil.

Di tengah polemik ini, TNI memberikan klarifikasi resmi yang menegaskan bahwa keterlibatan mereka terbatas pada aspek pertahanan negara di ranah siber, tanpa menyentuh ranah penegakan hukum terhadap masyarakat sipil.

Penegasan Peran TNI dalam RUU KKS

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Mar Freddy Ardianzah menjelaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah, dan melindungi bangsa dari ancaman, termasuk ancaman di domain siber yang berpotensi membahayakan pertahanan nasional.

“Peran TNI dalam konteks RUU Ketahanan dan Keamanan Siber (KKS) semata-mata berkaitan dengan aspek pertahanan negara di ruang siber, bukan pada ranah penegakan hukum terhadap masyarakat sipil,” ujar Freddy kepada wartawan, Rabu (8/10/2025).

Freddy menegaskan bahwa jika terdapat kasus kejahatan siber yang melibatkan prajurit TNI, penyidikan dilakukan secara internal berdasarkan hukum militer yang berlaku. Hal ini tidak akan mengintervensi proses hukum terhadap warga sipil.

“Dengan demikian, tidak ada niat ataupun potensi TNI untuk memasuki ranah penegakan hukum sipil. Fokus kami tetap pada fungsi pertahanan negara, termasuk menjaga ruang siber agar tetap aman, tangguh, dan berdaulat,” tambahnya.

Kritik Koalisi Masyarakat Sipil Terhadap RUU KKS

Koalisi Masyarakat Sipil, gabungan dari sejumlah LSM seperti Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure, menilai proses perumusan RUU KKS kurang memerhatikan perlindungan individu. Mereka menyoroti dominasi pendekatan state centric yang menekankan kepentingan nasional tanpa aspek pelindungan bagi warga.

“RUU KKS masih terlalu menekankan pendekatan state centric dengan mengedepankan pelindungan kepentingan nasional,” ungkap Koalisi dalam keterangannya, Selasa (7/10/2025).

Menurut Koalisi, sebuah legislasi keamanan siber yang ideal harus mampu melindungi perangkat, jaringan, serta individu sebagai penerapan pendekatan human centric. Ancaman siber pada akhirnya berdampak langsung pada warga negara sebagai korban.

Lebih jauh, Koalisi menyoroti adanya pencampuradukan antara kebijakan keamanan siber dan tindak pidana siber dalam draf RUU ini. Hal ini tercermin dari pengenalan sejumlah tindak pidana baru dalam Pasal 58, 59, dan 60.

Yang paling mengkhawatirkan, menurut mereka, adalah pengaturan “makar di ruang siber” dalam Pasal 61 ayat (2) huruf b, yang memberikan ancaman hukuman penjara hingga 20 tahun apabila serangan siber dinilai mengancam kedaulatan negara atau pertahanan dan keamanan negara.

Koalisi menilai keberadaan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d, dapat mengancam demokrasi dan prinsip negara hukum.

“Ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum dari RUU ini semakin nyata dengan diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber,” tegas Koalisi.

Jangan ketinggalan informasi penting! Follow kami sekarang di Google News.

Penulis: Sony Watson