Media Netizen — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengibaratkan konsep Beneficial Ownership (BO) sebagai sosok genderuwo. Pernyataan ini disampaikan saat peluncuran aplikasi BO Gateway yang digagas oleh Direktorat Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada Senin (6/10) di Jakarta.
Setyo menjelaskan, BO adalah individu yang berada di balik layar sebuah perusahaan, memiliki pengaruh besar namun keberadaannya sulit diketahui secara kasat mata. “Pemilik manfaat ini bukan perusahaan, bukan ras, bukan juga badan hukum. Tapi dia manusia yang berada di balik layar, orang-orang yang sembunyi dari perusahaannya, tapi dia punya pengaruh yang luar biasa,” ujarnya.
Konsep BO Sebagai “Genderuwo” dalam Dunia Korporasi
Dalam kesempatan yang sama, Setyo mengungkapkan pengalamannya saat bertugas di Kementerian Pertanian. Ia sempat menggambarkan BO seperti genderuwo, sosok tak terlihat tapi menimbulkan rasa takut.
“Dulu, saat saya di Kementerian Pertanian, saya katakan, ‘sering kali pejabat takut sama genderuwo.’ Wujudnya tidak ada, tapi namanya menakutkan,” kata Setyo. Ia menambahkan, BO biasanya menggunakan orang-orang di sekitarnya sebagai kaki tangan, sehingga pengaruhnya semakin kuat.
“Orang sembunyi di balik layar supaya orang tidak takut, tapi di samping-sampingnya banyak pengikut yang memanfaatkan modal, investasi, dan pengaruh lain yang memperkuat pemilik manfaat melakukan berbagai tindakan luar biasa,” imbuhnya.
Peran Aplikasi BO Gateway dalam Mempermudah Penegakan Hukum
Setyo berharap aplikasi BO Gateway dapat memudahkan aparat penegak hukum dalam mengakses data korporasi dan pemilik manfaatnya. Sistem ini dirancang untuk verifikasi data BO secara digital yang terintegrasi antar kementerian dan lembaga.
Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menambahkan, dengan sistem ini, kolaborasi lintas kementerian dapat memastikan kebenaran data BO yang terdaftar. “Dengan ketersediaan data BO yang akurat melalui BO Gateway, kita membekali aparat penegak hukum dengan instrumen presisi untuk melakukan follow the money hingga ke akar-akarnya,” ujarnya.
Apa Itu Beneficial Ownership (BO)?
Beneficial Ownership atau kepemilikan manfaat adalah konsep dimana seseorang mendapatkan keuntungan dari sebuah perusahaan tanpa tercatat secara administratif sebagai pemilik. Istilah ini kerap muncul dalam kasus korupsi sebagai celah yang dimanfaatkan untuk menyembunyikan kepemilikan sebenarnya.
Pemerintah Indonesia telah mengatur hal ini dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme. Namun, pelaporan secara self-declaration belum optimal hingga akhirnya Kemenkumham meluncurkan aplikasi BO Gateway sebagai tindak lanjut Peraturan Menteri Hukum Nomor 2 Tahun 2025.
Kasus Korupsi yang Melibatkan Beneficial Ownership
Meski dianggap seperti genderuwo, BO kerap muncul dalam berbagai kasus hukum, khususnya korupsi. Berikut beberapa kasus penting yang melibatkan BO sebagai tersangka:
- Kasus Suap Emirsyah Satar: Mantan Dirut Garuda, Emirsyah Satar, dan pengusaha Soetikno Soedarjo yang merupakan pemilik manfaat Connaught International Pte Ltd, terlibat suap senilai 1,2 juta euro dan USD 180 ribu terkait pengadaan mesin pesawat. Emirsyah divonis 8 tahun, Soetikno 6 tahun penjara.
- Kasus Korupsi Pengadaan Lahan Rumah DP Rp 0: Rudy Hartono Iskandar sebagai beneficial owner PT Adonara Propertindo dijerat dalam dua kasus korupsi pengadaan lahan di Munjul dan Pulo Gebang, Jakarta Timur, dengan vonis masing-masing 7 tahun penjara.
- Kasus Suap Eks Hakim MK: Basuki Hariman, pemilik manfaat beberapa perusahaan, dijerat dalam kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Basuki divonis 7 tahun penjara terkait pemberian USD 50 ribu.
- Kasus Korupsi Eks Dirut ASDP: Adjie, sebagai beneficial owner PT Jembatan Nusantara, didakwa melakukan korupsi pembelian perusahaan tersebut oleh PT ASDP, dengan kerugian negara mencapai Rp 1,25 triliun.






