Berita

Johan Rosihan Tegaskan Bahaya Cs-137 bagi Ketahanan Pangan Laut Indonesia

— Ancaman paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada produk udang beku asal Indonesia menjadi sorotan serius. Johan Rosihan, Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, menegaskan bahwa temuan ini bukan sekadar masalah citra ekspor, melainkan bisa mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem keamanan pangan laut tanah air.

Kasus ini muncul setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat mengidentifikasi adanya kontaminasi Cs-137 dalam produk udang beku Indonesia. Johan menyatakan bahwa pangan laut seharusnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional, namun kasus ini justru memperlihatkan lemahnya pengawasan dan kebijakan terkait produk laut.

Kontribusi Perikanan terhadap Ekonomi Nasional

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sektor perikanan menyumbang lebih dari 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai USD 5 miliar per tahun. Udang, tuna, dan rumput laut menjadi komoditas utama yang memasok kebutuhan protein domestik maupun pasar global.

Namun, Johan menyoroti bahwa kebijakan pangan nasional cenderung fokus pada komoditas darat seperti padi, jagung, dan kedelai. Padahal, pangan laut menawarkan keunggulan gizi dan keberlanjutan yang lebih menjanjikan jika dikelola dengan baik.

Blue Food sebagai Solusi Krisis Pangan

Dalam forum internasional, konsep blue food atau pangan biru mulai diakui sebagai solusi untuk mengatasi krisis pangan dan perubahan iklim. Johan menilai Indonesia berpotensi menjadi pelopor dalam mengembangkan pangan laut, namun hal ini membutuhkan keberanian politik dan arah kebijakan yang tegas.

Bahaya Cs-137 dan Kelemahan Sistem Deteksi

Cs-137 adalah isotop radioaktif berbahaya yang biasanya berasal dari aktivitas nuklir. Paparan zat ini melalui rantai makanan dapat menyebabkan kanker, kerusakan organ, hingga kematian. Keberadaan Cs-137 pada produk udang beku jelas menjadi alarm serius bagi keamanan pangan laut Indonesia.

Johan menyoroti ketiadaan mekanisme deteksi rutin terhadap kontaminasi radioaktif di produk pangan laut. Baik Badan Karantina, BPOM, maupun laboratorium mutu masih belum dilengkapi dengan teknologi untuk mendeteksi isotop berbahaya tersebut, membuka celah besar yang dapat merusak reputasi pangan laut nasional.

Tantangan Pengawasan dan Ketertelusuran Produk

Masalah lain yang diperparah adalah lemahnya sistem traceability atau ketertelusuran produk. Data asal-usul, metode budidaya, dan jalur distribusi sering kali tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga ketika terjadi kontaminasi, penelusuran sumber masalah menjadi sulit dilakukan.

Johan mengimbau pemerintah untuk memperbaiki tata ruang laut, pengelolaan pesisir, dan regulasi industri di wilayah perairan agar pengawasan bisa lebih ketat dan mencegah kasus serupa terulang.

DPR Dorong Reformasi Regulasi dan Penguatan Laboratorium

Di DPR, Komisi IV mendorong adanya reformasi sistemik melalui revisi UU Perikanan, UU Kelautan, dan UU Pangan. Hal ini bertujuan memasukkan aspek risiko kontaminasi radioaktif ke dalam regulasi keamanan pangan.

Johan menegaskan pentingnya percepatan penguatan kapasitas laboratorium uji mutu di pelabuhan utama. Banyak laboratorium belum memiliki alat deteksi radiasi, sehingga sulit bersaing di pasar global.

Selain itu, alokasi anggaran untuk program keamanan pangan laut harus ditingkatkan agar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Dampak pada Nelayan dan Pembudidaya Kecil

Krisis Cs-137 tidak hanya berdampak pada ekonomi ekspor, tetapi juga menghantam nelayan dan pembudidaya kecil yang menyumbang lebih dari 90 persen produksi perikanan tangkap nasional. Ketika harga jatuh atau permintaan anjlok, mereka menjadi pihak yang paling merasakan kerugian, meski bukan penyebab utama masalah.

Sayangnya, perlindungan terhadap nelayan kecil masih minim. Akses terhadap pembiayaan, asuransi, alat tangkap ramah lingkungan, dan rantai dingin sangat terbatas. Johan menegaskan bahwa negara wajib memberikan kompensasi seperti jaminan harga dasar atau insentif khusus agar nelayan tidak menanggung risiko sendirian.

Nelayan juga harus dilibatkan sebagai subjek penting dalam program pengawasan mutu untuk menjaga kualitas laut secara berkelanjutan.

Langkah Strategis untuk Memulihkan Kepercayaan

Untuk mengembalikan kepercayaan pasar, Johan mendesak pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap pabrik pengolahan dan jalur ekspor, memperkuat laboratorium uji mutu berstandar internasional, serta memberlakukan moratorium ekspor sementara dari wilayah yang bermasalah.

Selain itu, edukasi luas kepada nelayan dan masyarakat tentang keamanan pangan harus menjadi prioritas.

Dalam momentum Hari Pangan Sedunia, Johan menekankan pentingnya revolusi biru yang menjadikan laut sebagai pilar ketahanan pangan berbasis keberlanjutan, keadilan, dan keamanan. Menurutnya, pengelolaan hasil laut bukan hanya soal ekspor, tetapi juga masa depan bangsa yang harus dijaga dengan serius.

“UUD 1945 sudah jelas, negara wajib menjamin pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Kasus Cs-137 ini pengingat bahwa amanah konstitusi tidak boleh diabaikan,” pungkas Johan.

Jangan ketinggalan informasi penting! Follow kami sekarang di Google News.

Penulis: Sony Watson