Media Netizen — Sejak pekan lalu, suasana di pusat ibu kota Maroko, Rabat, berubah drastis. Jalanan yang biasanya ramai kini lebih lengang pada sore hari karena menjadi lokasi demonstrasi yang dipimpin oleh kelompok anonim bernama GenZ 212.
Nama Gen Z merujuk pada usia para peserta protes yang mayoritas remaja dan berusia dua puluhan, sedangkan angka 212 adalah kode telepon internasional Maroko. Aksi ini bermula kecil pada Sabtu (27/09) lalu dan cepat meluas ke kawasan permukiman kelas pekerja di Rabat, kemudian menyebar ke kota-kota besar seperti Casablanca dan Agadir, bahkan hingga ke daerah-daerah kecil.
Awal Mula Protes dan Tuntutan Utama
Kelompok GenZ 212 menginisiasi seruan aksi melalui platform Discord sekitar sebulan lalu. Mereka menyerukan unjuk rasa pada 27 dan 28 September dengan tuntutan utama peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan yang lebih layak. Mereka juga mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap salah prioritas, terutama alokasi dana besar untuk pembangunan stadion sepak bola menjelang Piala Afrika 2026 dan Piala Dunia FIFA 2030, sementara sekolah dan rumah sakit lokal kekurangan dana.
Protes ini mendapat perhatian setelah insiden tragis di Agadir pada pertengahan September, di mana delapan perempuan, termasuk ibu hamil, meninggal dalam kondisi mencurigakan. Hal ini memicu kemarahan warga dan kelompok hak asasi yang melakukan demonstrasi di depan rumah sakit regional setempat.
Kekerasan dan Dampak Demonstrasi
Pada awal Oktober, situasi memanas dan kekerasan mewarnai gelombang protes. Kementerian Dalam Negeri Maroko melaporkan lebih dari 400 orang ditangkap, 263 petugas keamanan terluka, serta kerusakan pada 142 kendaraan dan 20 mobil pribadi. Selain itu, 23 warga sipil terluka dan dua orang tewas akibat tembakan polisi di Kota Lqliaa, yang menurut kantor berita setempat adalah tindakan pembelaan diri.
Peristiwa kekerasan ini menandai eskalasi protes yang sebelumnya relatif damai. Bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan terjadi dengan pembakaran mobil dan toko, perusakan jendela, serta pelemparan batu.
Siapa GenZ 212 dan Karakter Protes
Analis politik Maroko, Rachid Belghiti, menyebut GenZ 212 sebagai “produk murni dari internet” tanpa struktur organisasi formal atau pemimpin yang dikenal publik. Berbeda dengan gerakan protes sebelumnya seperti Gerakan 20 Februari 2011 yang menuntut reformasi politik, GenZ 212 lebih menyoroti masalah sosial seperti pendidikan dan kesehatan secara umum.
Kelompok ini belum mengangkat isu lapangan kerja sebagai tuntutan utama, meski angka pengangguran anak muda sangat tinggi, yakni 37% untuk usia 15-24 tahun dan mencapai 48% di perkotaan.
Respons Pemerintah dan Tekanan Oposisi
Awalnya, media pro-pemerintah minim meliput protes dan beberapa pejabat menyampaikan pesan yang membela pemerintah dan mengkritik demonstran, bahkan menuduh adanya campur tangan asing. Namun, sikap resmi pemerintah mulai berubah menjadi lebih terbuka.
Pada Selasa (30/09), pemerintah menyatakan siap mendengarkan dan memahami tuntutan pemuda serta menegaskan pentingnya dialog sebagai jalan ke depan. Menteri Perumahan dan Wali Kota Marrakesh, Fatima-Zahra Mansouri, mendeskripsikan protes sebagai “vitalitas demokratis” dan menekankan pentingnya aksi tetap dalam koridor hukum.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Amin Tehraoui mengakui kelemahan serius dalam sistem kesehatan nasional dan sudah memecat Direktur Rumah Sakit Agadir yang menjadi sorotan protes.
Partai oposisi menyerukan pemerintah merespons tuntutan dengan serius, bahkan ada yang meminta kabinet mundur. Namun, Perdana Menteri Aziz Akhannouch yang juga seorang miliarder justru absen menanggapi protes hingga menuai kritik di media sosial.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Banyak warga meminta Raja Mohammed VI turun tangan mengatasi krisis ini. Meskipun Maroko memiliki sistem monarki konstitusional dan parlemen terpilih, kekuasaan politik dan ekonomi utama masih berada di tangan sang raja yang telah memimpin selama lebih dari dua dekade.
Aktivis GenZ 212 menegaskan bahwa kritik mereka bukan terhadap sistem monarki, melainkan terhadap kebijakan pemerintah saat ini. Mereka berharap perubahan nyata dalam pelayanan publik.
Menurut Belghiti, pemerintah kemungkinan akan terus mengandalkan aparat keamanan untuk mengendalikan situasi—langkah yang dianggap mempertahankan status quo tanpa menyelesaikan akar masalah. Jika protes bertahan dan semakin besar, kemungkinan besar Perdana Menteri Akhannouch akan menghadapi tekanan untuk mundur.
Saat ini, situasi masih dinamis dan belum cukup informasi untuk menentukan arah gerakan ini, apalagi dengan banyaknya seruan agar semua pihak menahan diri agar tidak terjadi eskalasi lebih lanjut.






