Media Netizen — Fenomena flexing atau pamer kekayaan di media sosial tengah menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Anak muda berlomba menunjukkan kemewahan lewat mobil mewah, barang bermerek, hingga uang tunai, seolah menjadi simbol kesuksesan sejati di era digital.
Kasus yang melibatkan Mario Dandy pada 2023, anak pejabat pajak yang kerap memamerkan mobil Rubicon dan motor gede, menjadi sorotan publik. Meski masalah hukum yang menimpa dirinya tidak langsung terkait flexing, peristiwa ini menggambarkan bagaimana pamer harta dapat memicu kritik dan kontroversi di masyarakat.
Flexing dan Kehidupan Selebritas di Media Sosial
Tidak hanya anak muda biasa, selebritas dan influencer juga sering menampilkan gaya hidup mewah di platform seperti Instagram dan TikTok. Mulai dari makanan mewah, barang branded, hingga liburan ke luar negeri, semua dipamerkan untuk menarik perhatian dan pengikut.
Namun, di balik kemewahan itu, muncul fenomena remaja yang mengalami depresi akibat perundungan atau cyberbullying. Kasus-kasus tersebut kian sering muncul dan menjadi bukti wajah lain era digital yang menyimpan luka batin dan kehampaan di balik layar yang penuh cahaya.
Penggunaan Media Sosial di Indonesia
Berdasarkan Indonesia Digital Report 2023, terdapat sekitar 167 juta pengguna aktif media sosial, atau sekitar 60 persen dari total populasi Indonesia. Rata-rata mereka menghabiskan waktu 3 jam 18 menit setiap harinya di platform digital, menandakan betapa eratnya ruang digital menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Modernitas Cair dan Identitas Digital
Dalam bukunya Liquid Modernity (2000), Zygmunt Bauman mengungkapkan bahwa era sekarang dikenal sebagai modernitas cair, di mana segala sesuatu bergerak cepat dan sulit untuk menetap. Identitas manusia kini mudah berubah mengikuti tren dan lebih banyak dibentuk oleh profil digital dibandingkan keluarga atau tradisi.
Generasi muda kini bisa berubah peran dari aktivis lingkungan menjadi gamer dan komentator politik dalam waktu singkat. Identitas lebih dilihat dari bagaimana seseorang terlihat di dunia maya daripada siapa dirinya sesungguhnya.
Tekanan dalam Masyarakat Prestasi Digital
Byung-Chul Han dalam The Burnout Society (2010) menyebut masyarakat modern sebagai masyarakat prestasi, di mana individu dituntut untuk terus viral, produktif, dan kreatif. Tekanan tersebut kini datang dari dalam diri sendiri, bukan dari pihak luar.
Banyak kreator konten merasa kelelahan lantaran harus terus menghasilkan tayangan agar tetap diminati pengikut sekaligus mendapatkan penghasilan. Sebuah studi internasional pada 2024 menyatakan tiga dari empat kreator mengalami stres atau burnout akibat tekanan algoritma media sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan digital ternyata semu, karena manusia justru terjebak dalam kompetisi tanpa akhir yang melelahkan.
Tragedi Digital: Kedangkalan Menggantikan Kedalaman
Penulis menganggap fenomena ini sebagai tragedi digital, di mana teknologi yang awalnya bertujuan memperkaya hidup justru menimbulkan penderitaan baru. Konten singkat dan sensasional mendominasi karena algoritma mendorongnya, sementara refleksi kritis mulai tenggelam.
Bauman menyebut kondisi ini sebagai hilangnya the commons, ketika setiap orang sibuk membangun panggung sendiri dan kepedulian sosial melemah. Di Indonesia, isu kemanusiaan dan bencana sering kalah sorotan dibandingkan gosip selebritas.
Selain itu, Han dalam The Transparency Society (2012) mengungkapkan tirani positivitas di dunia digital, di mana segala sesuatu harus tampak menyenangkan dan dapat dibagikan. Kritik, kesedihan, dan keheningan mulai terpinggirkan.
Ekshibisionisme Digital dan Privasi yang Memudar
Banyak orang dengan sukarela membagikan sisi pribadinya di media sosial, mulai dari makanan sehari-hari hingga masalah rumah tangga demi pengakuan publik. Fenomena ini dikenal sebagai ekshibisionisme digital, di mana batas privasi menjadi kabur.
Bauman dan David Lyon dalam Liquid Surveillance (2013) menyebut kondisi ini sebagai synopticon, di mana banyak orang mengawasi sedikit figur populer seperti influencer dan YouTuber yang menjadi pusat perhatian jutaan pengguna.
Han dalam Psychopolitics (2017) menilai manusia telah menjadi produk pasar, dengan identitas otentik yang terkikis dan tersisa hanya citra semu. Semakin keras mencari pengakuan, semakin besar rasa kehampaan yang dirasakan.
Dampak Psikologis dan Data Kesehatan Jiwa Remaja
Di balik citra bahagia di media sosial, banyak orang sebenarnya bergulat dengan kelelahan dan depresi. Han menyebut kondisi ini sebagai the tired self, subjek yang lelah bukan karena paksaan luar, melainkan karena memaksa diri sendiri terus eksis.
Survei Nasional Kesehatan Jiwa Indonesia 2022 mencatat ada 2,45 juta remaja usia 10-17 tahun yang mengalami gangguan mental. Tekanan terbesar datang dari perbandingan sosial, seperti kurangnya jumlah like, ejekan daring, dan rasa tidak mampu menyamai pencapaian teman sebaya.
Langkah Menata Ulang Relasi Digital
Tragedi digital bukan masalah individu semata, melainkan fenomena sosial yang membutuhkan tanggung jawab bersama. Beberapa langkah penting perlu dilakukan untuk mengatasi dampak negatif ini:
- Literasi digital dan emosional: Sekolah dan keluarga harus mengajarkan cara menghadapi tekanan media sosial, bukan sekadar menggunakan teknologi. Generasi muda perlu memahami bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh jumlah pengikut.
- Menciptakan ruang hening: Di tengah derasnya notifikasi, masyarakat perlu membatasi waktu online melalui digital detox untuk melawan tirani kecepatan dan tuntutan tampil terus-menerus.
- Memperkuat ruang bersama: Komunitas nyata seperti keluarga, sekolah, dan organisasi kemasyarakatan harus menjadi tempat membangun relasi mendalam tanpa pengaruh algoritma.
- Membatasi ekshibisionisme digital: Tidak semua aspek kehidupan perlu dipamerkan; keintiman yang dirawat secara pribadi memiliki nilai lebih bermakna.
Bauman menekankan pentingnya membangun dunia bersama yang lebih manusiawi di tengah modernitas cair, sementara Han mengingatkan pentingnya melawan tirani positivitas digital. Pesan ini mengajak kita menata ulang hubungan dengan teknologi agar ruang digital dapat memperdalam kemanusiaan, bukan menguranginya.