Media Netizen — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa mantan Bendahara Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), HM Tauhid Hamdi, terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024. Pemeriksaan berlangsung pada Selasa (7/10/2025) di Gedung KPK, Jakarta.
Setelah keluar dari pemeriksaan sekitar pukul 15.22 WIB, Tauhid menjelaskan bahwa dirinya ditanya soal dua pertemuan dengan mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Pertemuan berlangsung sebelum dan sesudah Yaqut tidak lagi menjabat sebagai Menag.
Pembagian Kuota Haji 2024 Jadi Wewenang Kemenag
Dalam keterangannya, Tauhid menegaskan bahwa pembagian kuota haji tambahan untuk tahun 2024 merupakan kewenangan Kementerian Agama (Kemenag). Ia memastikan Amphuri tidak melakukan intervensi dalam penentuan kuota tersebut.
“50 persen wewenangnya Gus Yaqut ya, Kemenag, kita tidak ada intervensi untuk menentukan kuota 50-50, kita cuma ketemu biasa saja,” ujar Tauhid.
Proses Pemeriksaan dan Saksi Lainnya
Pemeriksaan terhadap Tauhid ini merupakan yang ketiga kalinya oleh KPK. Sebelumnya, ia juga telah diperiksa pada Jumat (19/9) dan Kamis (25/9). Selain Tauhid, KPK juga memanggil beberapa saksi lain pada hari yang sama, antara lain:
- Supratman Abdul Rahman, Direktur PT Sindo Wisata Travel
- Artha Hanif, Direktur Utama PT Thayiba Tora
- M Iqbal Muhajir, karyawan swasta
Status Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji
KPK telah menaikkan kasus dugaan korupsi kuota haji 2024 ke tahap penyidikan, namun belum menetapkan tersangka. Kasus ini bermula saat Indonesia menerima tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu orang, yang kemudian dibagi menjadi 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus.
Padahal, berdasarkan undang-undang, kuota haji khusus hanya 8 persen dari total kuota nasional. KPK menduga bahwa asosiasi travel haji mendapatkan informasi adanya kuota tambahan dan kemudian menghubungi pihak Kemenag untuk membahas pembagian kuota tersebut.
Berdasarkan penghitungan sementara, kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. KPK juga telah melakukan penyitaan sejumlah aset, termasuk uang tunai, rumah, dan kendaraan terkait perkara ini.






