Berita

Dedi Iskandar Tekankan Pentingnya Penguatan Peran DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

— Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi sorotan penting di tengah kekuatan eksekutif yang dominan saat ini. Anggota Badan Pengkajian MPR RI sekaligus Senator DPD RI, Dedi Iskandar Batubara, menegaskan perlunya memperjelas dan memperkuat kewenangan DPD agar dapat berkontribusi maksimal dalam proses legislasi dan pengawasan.

Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi bertajuk Wewenang dan Pola Hubungan Antarlembaga Negara dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia yang berlangsung di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu (1/10). Dedi menilai posisi eksekutif saat ini terlalu kuat jika dibandingkan dengan legislatif dan yudikatif.

Kebutuhan Penguatan Kewenangan DPD

Menurut Dedi, meskipun prinsip trias politica sudah diadopsi, kedudukan MPR, DPR, dan khususnya DPD masih harus diperjelas. Pemerintah memiliki hak yang luas dalam legislasi, mulai dari pengajuan, pembahasan, hingga penandatanganan undang-undang. Karena itu, peran legislatif, termasuk DPD, wajib dipertegas.

“Eksekutif kita hari ini sangat kuat. Bahkan dalam legislasi, pemerintah memiliki hak mengajukan, membahas, hingga menandatangani undang-undang. Karena itu, peran legislatif, termasuk DPD, harus diperjelas,” ujar Dedi dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).

Dirinya juga menyoroti perjalanan 21 tahun keberadaan DPD yang sejatinya dirancang sebagai penyeimbang dalam legislasi. Namun, kewenangan DPD saat ini terbatas hanya pada pengusulan rancangan undang-undang terkait daerah, sehingga dorongan untuk memperluas otoritas terus dilakukan, terutama melalui wacana amandemen kelima UUD 1945.

Strategi Produktivitas DPD Meski Kewenangan Terbatas

Dedi menjelaskan ada tiga strategi utama yang terus dijalankan DPD agar tetap produktif. Pertama, mendorong penguatan DPD lewat amandemen kelima UUD 1945 guna menegaskan sistem presidensial sekaligus memperjelas posisi DPD sebagai kamar kedua parlemen.

Kedua, mengoptimalkan fungsi pengawasan terutama terhadap pelaksanaan undang-undang, penyaluran dana transfer, dan kebijakan lain yang berdampak langsung pada daerah. Meski sudah berjalan, fungsi ini masih kurang mendapat sorotan media karena dianggap normatif.

Ketiga, memperkuat kolaborasi pengawasan agar program pemerintah yang dianggarkan lewat APBN benar-benar terlaksana di daerah. “Perjuangan memperbesar peran DPD masih harus terus dilakukan,” ujarnya.

Dedi menegaskan bahwa meskipun kewenangan legislasi DPD terbatas pada pengusulan, fungsi pengawasan tetap menjadi peran vital yang harus diperkuat demi memperkokoh sistem ketatanegaraan.

Refleksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia oleh Pengamat Politik

Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim, mengulas perjalanan sistem ketatanegaraan Indonesia yang unik selama hampir delapan dekade. Ia menyampaikan bahwa secara konstitusional Indonesia menganut sistem presidensial berdasarkan UUD 1945, tetapi praktik politik kerap berbeda dengan teori tersebut.

Abdul mencontohkan masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUD Sementara 1950 yang menganut sistem federal dan parlementer namun tidak berlangsung lama. Pada periode 1950-1959, kabinet berganti sebanyak tujuh kali hingga Dekret 5 Juli 1959 dikeluarkan Presiden Soekarno mengembalikan sistem presidensial menurut UUD 1945.

Meski demikian, praktik presidensial Indonesia memiliki ciri khas tersendiri. Contohnya dalam relasi sipil-militer pascareformasi serta bentuk otonomi daerah yang tidak sepenuhnya sentralistik maupun federalistik, melainkan hibrid dengan otonomi khusus di Aceh, Papua, dan Yogyakarta.

Ia juga menyoroti bahwa saat ini tidak ada oposisi formal total dalam politik Indonesia. Fungsi penyeimbang lebih banyak diambil oleh masyarakat sipil, media, lembaga independen, dan gerakan mahasiswa yang berperan sebagai pengkritik untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.

“Inilah wajah demokrasi kita: hibrid, khas, hasil kompromi budaya, sejarah, dan politik bangsa. Demokrasi jalan ketiga ala Indonesia,” pungkas Abdul Hakim.

Diskusi ini diselenggarakan oleh Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR dan dimoderatori oleh Asep Subagyo.

Jangan ketinggalan informasi penting! Follow kami sekarang di Google News.

Penulis: Sony Watson