Berita

Bareskrim Selidiki Dugaan TPPU dalam Kasus Korupsi PLTU Rp 1,3 Triliun yang Libatkan Adik JK

— Jajaran Korps Reserse dan Kriminal Khusus (Kors Tipikor) Bareskrim Polri tengah mendalami dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kalimantan Barat yang merugikan negara hingga Rp 1,3 triliun. Penetapan tersangka baru dengan tuduhan TPPU akan diumumkan dalam waktu dekat.

Irjen Cahyono Wibowo, Kepala Korps Tipikor Bareskrim Polri, menyampaikan hal tersebut saat konferensi pers di kantor Bareskrim, Senin (6/10/2025). “Kami akan merilis kembali terkait pihak-pihak yang akan kami tetapkan dengan pasal TPPU,” ujarnya.

Empat Tersangka Utama Kasus Korupsi PLTU

Kasus ini melibatkan empat tersangka utama, yaitu Fahmi Mochtar (FM) yang merupakan Direktur Utama PLN periode 2008-2009, Halim Kalla (HK) selaku Presiden Direktur PT BRN sekaligus adik dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, RR yang menjabat Direktur Utama PT BRN, serta HYL dari PT Praba Indopersada.

Cahyono menjelaskan, proyek yang dikerjakan PT BRN ternyata disubkontrakkan sepenuhnya kepada PT Praba Indopersada. Perpindahan pengerjaan ini dianggap bermasalah dan berujung pada proyek mangkrak.

“Pekerjaan yang diberikan kepada PT BRN disubkontrakkan sepenuhnya kepada PT Praba. Dari sinilah muncul permasalahan, termasuk pengiriman alat yang tidak sesuai spesifikasi sehingga menimbulkan kerumitan dan proyek mangkrak,” paparnya.

Tenaga Kerja Asing Tanpa Izin dan Kerugian Negara

Lebih jauh, Cahyono mengungkapkan keterlibatan tenaga kerja asing asal China dalam proyek tersebut tanpa memiliki izin resmi bekerja di Indonesia. “Tenaga kerja dari China ini bermasalah karena tidak memiliki surat izin pekerjaan dari pihak terkait. Mereka kemudian dideportasi,” ucapnya.

Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara akibat korupsi ini diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun.

Awal Mula Kasus dan Dugaan Kecurangan dalam Lelang

Brigjen Toto Suharyanto, Direktur Penindakan Korps Tipikor Bareskrim Polri, memaparkan kasus ini bermula dari lelang ulang proyek PLTU 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas 2×50 megawatt pada 2008. Ia menilai ada kesepakatan tertentu sebelum lelang berlangsung.

“KSO PT BRN dan Alton diduga lolos seleksi atas arahan FM, padahal tidak memenuhi persyaratan teknis dan administrasi,” ujar Toto.

Lebih lanjut, Toto menyebut perusahaan Alton dan UGSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan diketuai oleh PT BRN. Pada 2009, KSO BRN diduga mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada, dengan dugaan adanya pemberian fee kepada KSO BRN oleh HYL selaku Direktur PT Praba.

“Sebelum penandatanganan kontrak, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba dengan kesepakatan pemberian imbalan fee kepada PT BRN. Selanjutnya, HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN,” jelasnya.

Kontrak Senilai Rp 1,2 Triliun dan Proyek Mangkrak

Toto mengungkapkan PT Praba sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek tersebut. FM dan RR menandatangani kontrak senilai USD 80,8 juta atau sekitar Rp 1,254 triliun pada 28 Desember 2009, dengan masa penyelesaian hingga 28 Februari 2012.

Namun, perusahaan hanya menyelesaikan 57 pekerjaan dan proyek tidak rampung meski ada 10 kali perubahan kontrak. “Proyek berhenti dengan alasan ketidakmampuan keuangan PLN, tapi sebenarnya pekerjaan terhenti sejak 2016,” tuturnya.

Polisi menemukan adanya pembayaran tidak sah kepada para tersangka. PT KSO BRN menerima pembayaran dari PLN Rp 323 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan USD 62,4 juta untuk pekerjaan mekanikal dan elektrikal.

Jangan ketinggalan informasi penting! Follow kami sekarang di Google News.

Penulis: Sony Watson