Media Netizen — Elisabeth Kaiser, seorang komisaris federal untuk Jerman Timur, lahir di Gera, Thüringen, pada 1987, saat Jerman masih terbagi dua. Dua tahun setelah kelahirannya, Tembok Berlin runtuh dan pada 3 Oktober 1990, Republik Demokratik Jerman (RDT) yang berhaluan komunis resmi berakhir.
Meskipun tidak secara langsung mengalami proses reunifikasi, kisah dari orang tua dan kakek-neneknya sangat membentuk identitas dan pandangannya hingga kini. Kaiser, yang kini berusia 38 tahun dan berasal dari Partai Sosial Demokrat (SPD), menyampaikan hal ini dalam laporan tahunan yang dipresentasikannya di Berlin bertepatan dengan peringatan 35 tahun bersatunya Jerman.
Generasi Muda di Jerman Bersatu
Dalam laporannya yang berjudul “Tumbuh dalam Persatuan?”, Kaiser menyoroti bagaimana generasi muda yang lahir pada akhir 1980-an dan 1990-an menjalani hidup di negara yang sudah bersatu secara formal. Mereka menjadi generasi pertama yang disosialisasikan sebagai warga satu Jerman.
Namun, ia menegaskan bahwa bagi banyak anak muda, “Timur” bukan sekadar arah mata angin, melainkan sebuah ruang yang membentuk identitas dan memengaruhi kehidupan mereka.
Perbedaan Identitas Antara Timur dan Barat
Kaiser yang menempuh studi di Universitas Potsdam, Brandenburg, mengamati perbedaan identitas yang masih kuat antara anak muda dari bekas Jerman Timur dan Barat. Ia mencatat bahwa banyak anak muda di wilayah barat, terutama yang tinggal di pesisir atau dekat pegunungan Alpen, enggan mengidentifikasi diri sebagai “orang Jerman Barat”.
Sementara itu, anak muda di bekas Jerman Timur cenderung lebih sering menggunakan istilah “Ossis” untuk menyebut diri mereka sendiri, sebuah istilah slang yang merujuk pada orang dari wilayah tersebut.
Kesenjangan Sosial dan Ekonomi yang Masih Terasa
Kaiser menekankan bahwa perbedaan tersebut tidak hanya soal identitas, tetapi juga kondisi kehidupan yang nyata. Di banyak daerah pedesaan dan kota kecil di Jerman Timur, akses terhadap transportasi umum dan fasilitas kesehatan masih belum merata.
Selain itu, pendapatan penduduk di wilayah timur lebih rendah, dan ketergantungan pada tunjangan sosial lebih tinggi dibandingkan di barat. Kekayaan secara umum juga lebih rendah di timur, yang berdampak pada kesempatan dan kualitas hidup generasi muda di sana.
Statistik Warisan dan Dampaknya
Data dari Kantor Statistik Federal tahun 2024 menunjukkan perbedaan mencolok dalam nilai warisan dan hibah yang diterima di wilayah barat dan timur. Negara bagian barat melaporkan lebih dari €106 miliar (sekitar Rp2.067 triliun), sementara di timur, termasuk Berlin, jumlahnya kurang dari €7 miliar (Rp136,5 triliun).
Perbedaan hampir empat kali lipat per kapita ini mencerminkan ketimpangan kekayaan yang diwariskan antar wilayah. Kaiser menilai ini sebagai masalah serius yang perlu dibahas, termasuk kemungkinan reformasi hukum warisan.
Usulan “Warisan untuk Semua”
Salah satu gagasan yang pernah diajukan Institut Penelitian Ekonomi Jerman (DIW) adalah program “warisan untuk semua”. Program ini mengusulkan agar seluruh anak muda di Jerman menerima warisan sebesar €20.000 (sekitar Rp390 juta) untuk mendukung pendidikan, memulai usaha, atau investasi properti. Dana ini akan bersumber dari pajak atas warisan besar.
Meski ide ini menarik, topik tersebut masih kurang populer, terutama di kalangan konservatif termasuk sebagian anggota Uni Demokratik Kristen (CDU) pimpinan Kanselir Friedrich Merz.
Pertumbuhan Ekonomi dan Tantangan Demografis
Kaiser mengakui bahwa Jerman Timur telah mengalami perkembangan signifikan dalam beberapa bidang. Ekonominya tumbuh, muncul ekosistem start-up yang dinamis, dan wilayah ini menjadi pelopor dalam penggunaan energi terbarukan.
Namun, ia memperingatkan bahwa pertumbuhan ini belum cukup menutup kesenjangan dengan wilayah barat. Tantangan seperti penuaan populasi dan migrasi anak muda ke barat makin memperkuat disparitas tersebut.
Sejak reunifikasi pada 1990, wilayah timur kehilangan sekitar dua juta penduduk, turun sebesar 16%. Saat ini, lima negara bagian di timur memiliki populasi kurang dari 12,5 juta jiwa. Sebaliknya, populasi wilayah barat justru tumbuh 10%, mencapai hampir 68 juta jiwa.






